Foto: binbaz.atturots.or.id |
Pernah gak sih kalian merasa jika diri kalian ditempat yang
salah? Merasa diri kalian gak seharusnya ada disitu? Atau ngerasa memang diri
kalian tidak seharusnya adalah diri kalian?
Gue pernah ngerasainnya. Bahkan sering!
Hal ini bisa berlaku buat gue, ketika datang di suatu tempat
yang penuh dengan orang baru dan gue bakal kaya “duh adaptasi lagi deh”, “stay calm zi, lo belum kenal sama
orang-orang disini”, dan “mizi anak baik, jaga attitudenya dulu”. Yang intinya, gue bakal bersikap fake dulu sebagai penyesuaian diri
dengan orang-orang yang ada di sekitar terlebih dahulu.
But, you know what? Jujur gue lebih suka jadi diri gue yang emang
gak bisa diem, yang ngomong apa adanya (gak munafik, manis-manis gitu ke orang
tertentu), dan yang lainnya. Tapi balik lagi, beberapa orang pernah bilang ke
gue.
“Fake it until you make it.”
Buat gue, kata-kata itu berpengaruh besar. Sangat besar.
Dimana gue berusaha menyembunyikan segala fakta tentang diri gue sampai tujuan
dari ‘fake’ itu berhasil. Dan setelah berhasil, gue bisa balik lagi jadi diri
gue yang sebenarnya bahkan bisa sampai memengaruhi orang lain.
Mungkin jika di analogikan, diri gue ini adalah titik hitam
di kertas putih yang akan selalu menonjol dan pertama kali dilihat oleh orang
lain karena perbedannya. Tapi gue bersyukur akan hal itu karena attention yang gue dapet akan lebih
besar dan akhirnya lebih mudah bagi diri gue untuk dikenal secara umum.
Nah, sewaktu-waktu.. dalam mencapai sebuah tujuan dimana dia
harus ditempatkan dalam kertas putih, dia akan menutupi dirinya dengan label
warna putih sehingga terlihat menyerupai warna yang lainnya. Dalam konteks
tersebut, warna yang lain tidak akan mengetahui warna asli sang titik hitam.
Hanya ahli tertentu yang dapat melihatnya, dan dia di analogikan sebagai
manusia.
Secercah harapan dengan risiko yang besar akan muncul
seiring keberhasilan tergapai, dan pada akhirnya sang titik hitam akan membuka
label yang ada pada dirinya. Jadilah sang titik hitam diantara kertas putih.
Namun apakah hanya sampai situ? Pastinya tidak!
Titik hitam tersebut akan menjadi pendorong bagi kertas
putih untuk menonjolkan keunikan dengan memengaruhi orang lain. Dalam hal ini,
titik hitam tidak memaksa orang lain menjadi dirinya. Dia hanya berusaha untuk
membuat sang titik putih dalam lembaran kertas tersebut menjadi dirinya sendiri
dengan keunikannya sendiri.
Memang tidak mudah, tapi suatu kala, keunikan tersebutlah
yang akan menjadi daya tarik tertentu sebagai pemikat perhatian orang lain agar
mudah mendapatkan ikatan yang baru. Jika membaca sekilas, sang titik hitam
mungkin akan dikatakan sebagai titik yang jahat karena berusaha untuk
memengaruhi orang lain.
Tetapi di satu sisi, sang titik hitam hanya membantu orang
lain untuk dapat lepas dari permasalahan-permasalahan yang ada dengan menjadi
dirinya sendiri dan menciptakan sesuatu yang unik sebagai identitas dirinya
sendiri. Saya adalah titik hitam itu. Dan hitam selalu dipersepsikan sebagai
warna kejahatan.
Jadi, dapat diartikan jika saya bukan lah orang yang
benar-benar baik. Tetapi saya berusaha untuk terus belajar menjadi lebih baik.
Karena saya percaya, kebaikan sesungguhnya hanya milik Allah SWT. Dan manusia
selalu menyimpan rahasia di balik perasaannya.
“Kenali saya, maka kalian hanya akan mengenal saya. Tetapi
jika kalian mengerti saya, maka kalian akan mengetahui siapa saya
sesungguhnya.” –Muhammad Tarmizi