Jumat, 31 Agustus 2018

Menjadi Berbeda di Antara Yang Berbeda


http://binbaz.atturots.or.id/foto_berita/small_96kertasputih.jpg
Foto: binbaz.atturots.or.id


Pernah gak sih kalian merasa jika diri kalian ditempat yang salah? Merasa diri kalian gak seharusnya ada disitu? Atau ngerasa memang diri kalian tidak seharusnya adalah diri kalian?

Gue pernah ngerasainnya. Bahkan sering!

Hal ini bisa berlaku buat gue, ketika datang di suatu tempat yang penuh dengan orang baru dan gue bakal kaya “duh adaptasi lagi deh”, “stay calm zi, lo belum kenal sama orang-orang disini”, dan “mizi anak baik, jaga attitudenya dulu”. Yang intinya, gue bakal bersikap fake dulu sebagai penyesuaian diri dengan orang-orang yang ada di sekitar terlebih dahulu.

 But, you know what? Jujur gue lebih suka jadi diri gue yang emang gak bisa diem, yang ngomong apa adanya (gak munafik, manis-manis gitu ke orang tertentu), dan yang lainnya. Tapi balik lagi, beberapa orang pernah bilang ke gue. 

“Fake it until you make it.” 

Buat gue, kata-kata itu berpengaruh besar. Sangat besar. Dimana gue berusaha menyembunyikan segala fakta tentang diri gue sampai tujuan dari ‘fake’ itu berhasil. Dan setelah berhasil, gue bisa balik lagi jadi diri gue yang sebenarnya bahkan bisa sampai memengaruhi orang lain.

Mungkin jika di analogikan, diri gue ini adalah titik hitam di kertas putih yang akan selalu menonjol dan pertama kali dilihat oleh orang lain karena perbedannya. Tapi gue bersyukur akan hal itu karena attention yang gue dapet akan lebih besar dan akhirnya lebih mudah bagi diri gue untuk dikenal secara umum.

Nah, sewaktu-waktu.. dalam mencapai sebuah tujuan dimana dia harus ditempatkan dalam kertas putih, dia akan menutupi dirinya dengan label warna putih sehingga terlihat menyerupai warna yang lainnya. Dalam konteks tersebut, warna yang lain tidak akan mengetahui warna asli sang titik hitam. Hanya ahli tertentu yang dapat melihatnya, dan dia di analogikan sebagai manusia.

Secercah harapan dengan risiko yang besar akan muncul seiring keberhasilan tergapai, dan pada akhirnya sang titik hitam akan membuka label yang ada pada dirinya. Jadilah sang titik hitam diantara kertas putih.

Namun apakah hanya sampai situ? Pastinya tidak!

Titik hitam tersebut akan menjadi pendorong bagi kertas putih untuk menonjolkan keunikan dengan memengaruhi orang lain. Dalam hal ini, titik hitam tidak memaksa orang lain menjadi dirinya. Dia hanya berusaha untuk membuat sang titik putih dalam lembaran kertas tersebut menjadi dirinya sendiri dengan keunikannya sendiri.

Memang tidak mudah, tapi suatu kala, keunikan tersebutlah yang akan menjadi daya tarik tertentu sebagai pemikat perhatian orang lain agar mudah mendapatkan ikatan yang baru. Jika membaca sekilas, sang titik hitam mungkin akan dikatakan sebagai titik yang jahat karena berusaha untuk memengaruhi orang lain.

Tetapi di satu sisi, sang titik hitam hanya membantu orang lain untuk dapat lepas dari permasalahan-permasalahan yang ada dengan menjadi dirinya sendiri dan menciptakan sesuatu yang unik sebagai identitas dirinya sendiri. Saya adalah titik hitam itu. Dan hitam selalu dipersepsikan sebagai warna kejahatan.

Jadi, dapat diartikan jika saya bukan lah orang yang benar-benar baik. Tetapi saya berusaha untuk terus belajar menjadi lebih baik. Karena saya percaya, kebaikan sesungguhnya hanya milik Allah SWT. Dan manusia selalu menyimpan rahasia di balik perasaannya.

“Kenali saya, maka kalian hanya akan mengenal saya. Tetapi jika kalian mengerti saya, maka kalian akan mengetahui siapa saya sesungguhnya.” –Muhammad Tarmizi

Senin, 27 Agustus 2018

Kata Mizi “Tentang Peng-Qurbanan Hewan Qurban” Part 2

Ilustrasi hewan qurban. Foto: Dayah Nihayatul Muhtaj


 2. Hak Penanganan

Setelah selesai disembelih, maka selanjutnya hewan qurban akan dikuliti untuk dapat diambil dagingnya. Namun sayangnya, menurut saya, kedua masjid yang saya kunjungin tidak mencerminkan perilaku yang baik dalam menangani permasalahan tersebut.

Pertama, cara mereka membawa hewan qurban setelah disembelih sangat tidak berpri-kehewanan. Sebab, mereka menyeret begitu saja hewan yang sudah mati dengan keadaan kepala menyeret aspal jalan dan darah pun akhirnya berceceran kemana-mana. 

Selain itu, ada juga di salah satu masjid yang mengabadikan terlebih dahulu hewan yang telah disembelih secara beramai-ramai sampai keadaan sang hewan terinjak-injak dan terhimpit oleh orang-orang disekitarnya. Sebagai manusia, apakah hal tersebut baik kita lakukan?

Yang menjadi permasalahan saya disini ialah sikap tersebut dilakukan kepada hewan yang sedang dalam konteks istimewa. Jika dimaknai, hewan qurban adalah pengganti anak yang akan kita serahkan kepada Allah SWT untuk disembelih.

Maka menurut saya, perlakukanlah hewan tersebut layaknya hewan yang sudah menolong kita dengan menggantikan posisi anak-anak kita untuk disembelih. Berterima kasih lah kepadanya. Perlakukanlah dengan baik wujudnya meski telah dalam keadaan mati sekali pun.

Aliran Darah Hewan Qurban

Sepengetahuan saya (maaf jika salah), yang diutamakan dalam proses penyembelihan hewan qurban adalah aliran darah yang keluar dari rongga leher dan jatuh ke dalam lubang atau dasar permukaan. Sayangnya, saya kerap melihat hewan-hewan qurban yang dipotong begitu saja tanpa mengidahkan aspek darah ini.

Aliran darah tersebut dibiarkan berceceran kemana-mana layaknya gelas minuman yang tumpah dari tangan anak kecil. Lalu, dimanakan estetika sang darah? Dulu bahkan saya kerap disuguhi mitos jika terkena darah hewan qurban maka tempat yang terkena akan tumbuh kutil. Namun sekarang apakah mitos tersebut masih layak dibicarakan kepada anak dan adik kita?

Selain itu, hasrat untuk mengekspos darah dalam ranah media sosial juga sangat tinggi. Ayolah kawan, tidak semua menyukai tontonan darah seperti dirimu. Jadi, bijaklah dalam menggunakan sosial media. Sebab, meski itu milikmu, orang lain juga akan mendapatkan hasilnya.

Panitia Penyembelihan Hewan Qurban

Panitia memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan sebuah acara. Mulai dari pekerjaan berat yang diembang, resiko bahaya yang diterima, dan sebagainya. Namun, apakah alasan sesungguhnya masyarakat umum ingin menjadi panitia, terutama panitia penyembelihan hewan qurban?

Mungkin ini hanya sekedar spekulasi saya semata, tetapi pertanyaan diatas mungkin bisa saya jawab dengan “daging”. Ya benar, daging. Daging menjadi salah satu tujuan utama masyarakat berbondong-bondong ingin menjadi panitia. Kenapa saya dapat berbicara demikian?

Berdasarkan apa yang saya lihat sendiri, banyak dari panitia penyembelihan melakukan hal yang tidak sepantasnya dilakukan terkait dengan daging tersebut. Mungkin tidak semua panitia melakukan hal ini. Namun, sepanjang tahun saya melihat aksi penyembelihan, selalu saya temukan panitia-panitia yang membawa daging qurban terlebih dahulu dengan jumlah yang lumayan besar ke rumah mereka.

Selain itu, ada juga panitia yang berbicara “ini bagian gue ya”, “gue mau kepala yang ini”, “gue mau bawa pulang buntutnya ya buat di sop”, dan sebagainya. Well, menurut saya sendiri panitia pasti mendapatkan bagian daging lebih sebagai pengganti dari tenaga dan waktu yang dikeluarkan saat acara tersebut.

Namun apakah pantas jika seorang panitia melakukan suatu hal dengan tujuan tertentu apalagi sedang dalam kegiatan yang sakral seperti Idul Adha?

Semua itu adalah apa yang saya temukan dalam acara penyembelihan hewan qurban beberapa hari lalu di masjid sekitar rumah saya. Jika menurut kalian hal ini tidak benar, dan terlalu mengada-ada karena tidak ada paham yang spesifik, kalian dapat memberikan tanggapan di kolom komentar. Terima kasih😊



Sabtu, 25 Agustus 2018

Kata Mizi “Tentang Peng-Qurbanan Hewan Qurban” Part 1


Ilustrasi hewan qurban. Foto: Dayah Nihayatul Muhtaj


Qurban merupakan sebuah kegiatan dimana umat islam yang berkecukupan dan merasa dirinya mampu dapat mengurbankan hewan-hewan yang termasuk dalam golongan boleh di-qurbankan, dan diselenggarakan setahun sekali, yakni hanya pada Idul ‘Adha atau bulan haji saja. Kemeriahan penyembelihan hewan qurban sontak pasti jadi sorotan setiap warga, mulai dari anak kecil hingga orang dewasa yang menjadi panitia penyembelihan.

Saya yang sudah dapat dikatakan bukan anak kecil lagi ini tetap senang melihat aksi penyembelihan. Kalau dulu sih karena senang melihat aksi orang dewasa dalam merubuhkan hewan-hewan tersebut. Tapi kalau sekarang, saya senang dapat mengamati bagaimana orang-orang menggambarkan Idul ‘Adha itu sendiri. Namun dibalik itu, tetap ada banyak orang yang menggambarkan saya baik dengan verbal maupun non verbal jika saya ini seperti anak kecil.

“Kaya anak kecil aja lu zi liat-liat begituan.”

Beruntungnya, menurut saya, semakin tinggi seseorag mengeyam bangku pendidikan, maka semakin tinggi juga pola pemikirannya. Namun saya tidak menyalahkan atau membenarkan jika hal tersebut adalah pasti. Tetapi saya juga memiliki pandangan jika hal itu benar terjadi dalam diri saya.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, tibalah Idul ‘Adha pada tahun ini, dan saya tetap bersikukuh untuk dapat melihat kegiatan penyembelihan di masjid-masjid sekitar rumah. Tidak ada kejanggalan yang aneh dan terkesan sangat buruk secara universal dalam konteks ini. Namun saya akan tetap mencoba memaparkan opini mengenai kegiatan penyembelihan hewan qurban berdasarkan apa yang lihat secara nyata dengan mata kepala saya sendiri. Yuk disimak!


Hak Asasi Hewan

Menurut saya ini merupakan hal yang paling mendasar dalam kegiatan penyembelihan hewan qurban. Layaknya manusia, hewan juga merupakan makhluk hidup yang memiliki hak-hak. Terlebih dalam kegiatan ini mereka sedang diistimewakan.

Namun, selama saya menyaksikan penyembelihan hewan qurban di dua masjid dekat rumah saya, para panitia penyembelihan ini sama sekali tidak mengidahkan hak-hak tersebut. Hak-hak hewan yang saya dapat jabarkan memang tidak ada paham secara spesifik seperti ‘ada di ayat mana?’, ‘siapa yang mengatakannya?’, dan sebagainya.

Hak-hak ini hanya berlandaskan pada pengalaman saya semata. 

1. Hak Tidak Melihat Penyembelihan

Sejak kecil hingga beranjak remaja, saat saya melihat penyembelihan hewan qurban, pasti panitia selalu melakukan penyembelihan jauh dari hewan-hewan yang masih hidup. Sewaktu-waktu saya sempat bertanya mengapa demikian? Selontar jawaban yang menurut saya memang logis hingga kini ialah “jika hewan yang masih hidup melihat temannya meninggal karena lehernya dipotong di depan mata kepalanya, maka hewan tersebut akan takut, stress, dan gelisah.” 

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh saya, jika menjauhi hewan-hewan yang masih hidup dari yang sudah disembelih adalah sebuah kegiatan yang memiliki tujuan mulia seperti itu. Bahkan, ada waktu dimana seekor sapi ditutupi matanya agar tidak melihat proses penyembelihan tersebut.

Sayangnya, dewasa ini banyak tempat-tempat penyembelihan yang justru mempertontonkan aksinya di depan hewan qurban yang masih hidup. Hasilnya, di dua masjid yang saya kunjungi ialah mengibaratkan hewan qurban seperti antrian thb (tiket kereta), di mana sang hewan dapat melihat tujuan akhir dari penumpang lain. Betapa kaget saya melihat kejanggalan yang satu ini. Pasalnya, jawaban terdahulu memang benar terjadi. Hewan-hewan yang melihat sontak teriak saat masuk dalam urutan penyembelihan. Mereka gelisah, tak bisa diam, berteriak, bahkan menangis.

Kemudian, dimana kah belas kasih kita sebagai manusia?

Jika ada manusia meninggal di depan mata kepala kita saja, kita teriak dan cemas bahkan trauma. Lalu bagaimana dengan hewan? Tidak pernah terpikirkan, bukan? 

Bersambung...

Senin, 30 April 2018

Macho ≠ Baik




Banyak banget orang yang bilang kalo jadi laki-laki itu harus macho, jangan letoy kaya pensil inul. Well, sebenernya setiap orang yang ngomong gitu tau gak sih rasanya dikatain kaya gitu? Emang ada yah orang pas lahir bisa milih kalo udah gede mau jadi laki-laki macho biar banyak disukain sama lawan jenis? Gue rasa enggak ada yang bisa deh.

Nah disini juga banyak banget persepsi yang berbeda dari kata macho itu sendiri. Contohnya adalah gue sendiri. Gue pernah dikatain kalo diri gue ini gak macho karena gue gak ngerokok, gak ‘minum’, dan gak ‘drugs’.  “Cowok tuh ngerokok zi. Lo bukan cowok kalo lo gak ngerokok”. 

Wagelaseh, gue gak tau lagi dah gimana cara pandang orang terhadap cowok macho yang dilihat dari sisi buruknya aja. Eh tapi fyi guys, yang ngomong itu bukan cewek loh. Melainkan temen gue yang cowok! Iya, COWOK!

Bener kata guru dan dosen-dosen gue, manusia itu terbentuk karena lingkungannya.

Emang sih, zaman sekarang kalo perempuan ditanya ‘kamu lebih suka sama cowok bad boy atau cowok baik-baik?’ diatas 50%– gatau jelasnya, pasti jawabannya ‘cowok bad boy’. Bener nggak? Ya kalo salah mohon maaf aja sih. 

Nah kalo kalian sebagai perempuan hanya menilai kadar ‘macho’ seorang laki-laki dari hal buruknya aja, duh gimana gue dong? Berarti gue bukan cowok kali yak, hmm.. menarik! Hahaha..
Hal ini dibuktikan dalam hal ‘hubungan’. Ketika ada seorang cowok baik yang mencoba mendekatkan diri dengan seorang perempuan pasti jawabannya sama aja, yaitu ‘kamu terlalu baik buat aku, lebih baik kita berteman saja’ – yailah jad curhat  (diambil dari kisah nyata gue). 

But I’m not joking guys. Ini serius. Cius deh! Coba deh kalian berfikir untuk tidak menempatkan kata-kata baik dalam segala hal. Karena menurut gue baik itu relatif, dan gak ada seorang pun yang bisa menilai arti baik orang lain.

Nih, seandainya aja kalian dapet cowok yang kalian anggep macho tersebut trus dia nyakitin kalian pasti kalian bilangnya ‘semua cowok sama aja’. Arrrghhh, so confused sama perempuan. Giliran dapet yang baik, bilangnya terlalu baik. Giliran dapet yang gak baik, bilangnya semua cowok tuh sama aja, sama-sama breng*sek. Hadeehhh.. 

Apasih salah kaum laki-laki sampai kalian menganggap hanya diri kalian yang paling benar? Ada yang gak pengen pacaran, tapi maunya langsung dinikahin. Giliran ada yang ngelamar tapi gak sesuai sama dia (dari segi fisik, materi, atau apapun itu) bilangnya bukan yang terbaik dan ditolak. Huft~

Baik, baik, dan baik. Adakah selain kata baik yang pantas ditempatkan secara baik untuk orang-orang baik di dunia yang baik ini?

Eh tapi gue gak mau menyalahkan siapapun itu ya. Mau cowok atau cewek semuanya sama aja bagi gue. Tapi karena disini gue cowok, jadi gue melihat dari sisi pandang gue ya dan jadilah tulisan ini hehehe

Senin, 23 April 2018

“A Quiet Place” Nyata? Fix Gue Pasti Mati Duluan!


https://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/a/a0/A_Quiet_Place_film_poster.png

A Quiet Place, salah satu film yang lagi booming banget minggu-minggu ini sangat menarik perhatian gue. Pertama kali nonton trailer film tersebut gue beranggapan kalo film ini bakal sama dengan ‘don’t breathe’. Soalnya, konsep dasar film ini ialah JANGAN MEMBUAT SUARA KALAU KALIAN INGIN HIDUP. Bener nggak? 

Sayangnya, disini gue gak bakal ngomongin perbedaan antara kedua film tersebut. Tetapi gue bakal ngomongin gimana sih konsep tersebut kalau bener nyata ada di dunia ini. Well, sebenernya gak bakal juga sih monster jelek buta yang cuma bisa denger suara itu beneran ada. Tapi coba aja kita bayangin versi hidup gue hahaha.

Ngomongin tentang kemungkinan sebuah film bakal terjadi secara nyata atau enggak, ya sebenernya kalau tema fiksi sendiri gak bakal mungkin terjadi juga sih ya. Tapi coba biarin gue berfantasi terlebih dahulu okeh? Tolonglah yaa hehe..

Nah, gue ini, merupakan salah satu orang yang heboh dan gak bisa diem. Jadi, udah jelas banget bakal susah kalo disuruh diem (jelas-jelas petakilan) . Sesuai dengan judul diatas, kalau misalkan film ‘a quiet place’ beneran nyata, sudah sangat dipastikan gue bakal jadi orang yang pertama mati. Kenapa begitu? Soalnya...

Pada awal scene film, menampilkan sosok Ibu yang lagi berusaha ngambil obat untuk anaknya. Nah disitu aja gue udah mencoba untuk menahan nafas dan berfikir gimana caranya supaya gue belanja ke supermarket tapi gak berisik sama sekali. Mau ngambil sesuatu aja gue pasti ngoceh dulu sambil kepusingan mau pilih barang yang mana. Dari liat barang yang termurah, hingga barang yang lagi promo gila-gilaan.

Beberapa adegan film tersebut juga menayangkan para pemerannya mati karena teriak. Haduhhhh... gimana gue yang ngomong pelan aja udah kaya teriak. Padahal kan bukan salah gue punya suara cempreng yang kenceng dan gak bisa dikecilin. Berartikan gue diem aja tuh udahan berisik!

Selain itu, yang gue bingung adalah.. gimana caranya lo jalan tapi gak bersuara? Damn! Kadang aja gue tuh jalan sambil nyeret sendal atau menapak dengan bunyi *plek plek plek*– akibat benturan dari sendal dan tumit gue. Duhh gatau lagi deh gimana keadaan gue kalo hal tersebut harus bener terjadi.
Mungkin gue bakal berharap lebih baik gak dilahirin daripada dilahirin dalam keadaan gue harus diem. Jadi bayi yang dalam film tersebut harus napas pake tabung dan masuk kotak? BIG NO!! Hahaha.

Karena gue gak bisa hidup tanpa bersuara sama sekali, sudah dipastikan jika “fix gue bakal jadi orang yang mati pertama!” (kalo film itu beneran nyata :p).