Ketika aku masih kecil, masih berada di sekolah dasar
tepatnya, aku sering bertanya pada ibuku, darimana aku tercipta? Mengapa aku
bisa hadir di dunia ini? Dan setiap kali pertanyaan yang sama berulang kali
kutanya, ibuku selalu menjawab, “kamu itu ibu buat bareng bapak dari tepung
terigu, telur dan air”. Aku tertawa, dan tak menyangka tapi tetap percaya.
Pernakah hal tersebut dialami oleh orang lain? Mungkin tidak, dan mungkin hanya
aku yang mengalaminya. Mungkin hanya hidupku saja yang berbeda dari kebanyakan
orang. Meski begitu aku tetap bahagia lahir di keluarga tepung, telur dan air.
Sampai suatu ketika, saat lebaran Idul Fitri, dimana setiap ibu rumah tangga
pasti akan sibuk membuat kue lebaran, aku melihat ibu membuat adonan yang sama
yang ia ceritakan ketika tengah membuat aku. Aku bingung pada saat itu, dan
terus bertanya, apakah ibu akan membuat adik untuk ku? Aku akan senang akan hal tersebut. Namun ketika adonan telah selesai dan siap di oven, aku
tak melihat adonan tersebut berwujud seperti manusia. “Mungkin ketika telah
matang dan dikeluarkan dari oven ia akan langsung menangis,” ujarku dalam hati.
Dan ya, betapa bodohnya aku percaya, atau lebih tepatnya dipaksa untuk percaya
mengenai hal tersebut oleh ibu.
Mungkin saat itu pendidikan tentang sex
terhadap usia dini memang belum tabu dan pantas untuk diberikan orang tua.
Namun, memaksa anak untuk percaya terhadap hal yang tidak logis, menurutku
lebih tidak pantas untuk dilakukan. Seperti kisah tentang keluarga miskin yang
kelaparan yang menceritakan seorang ibu tengah memasak demi anak-anaknya yang
kelaparan, namun tak memiliki bahan masakan apapun. Kau tau apa yang
dilakukannya? Ya, sang ibu memaksa anaknya percaya jika ia sedang memasak nasi,
padahal ia sedang merebus batu agar anaknya mengantuk, melupakan rasa lapar,
dan akhirnya tertidur.
Sedari kecil kita dipaksa untuk memercayai hal bodoh yang
tidak logis, yang sama sekali tidak bisa diterima oleh akal pikiran manusia
normal pada umumnya. Dan menurutku hal tersebut yang membuat negeri tercintaku
ini, Indonesia, terpuruk. Sehingga membuat kita mudah dibohongi oleh orang
lain, dan negara lain. Tidak ada niat dan maksud diriku untuk menghina negeri
sendiri atau orang-orang di dalamnya, atau bahkan ibuku sendiri melalui tulisan.
Hanya saja, aku sedikit miris terhadap tindakan orang tua pada zaman ku kecil
dahulu. Jika ada yang merasa demikian aku memohon maaf sebesar-besarnya.