Kamis, 09 Februari 2017

Keluarga Tepung, Telur dan Air



Ketika aku masih kecil, masih berada di sekolah dasar tepatnya, aku sering bertanya pada ibuku, darimana aku tercipta? Mengapa aku bisa hadir di dunia ini? Dan setiap kali pertanyaan yang sama berulang kali kutanya, ibuku selalu menjawab, “kamu itu ibu buat bareng bapak dari tepung terigu, telur dan air”. Aku tertawa, dan tak menyangka tapi tetap percaya. Pernakah hal tersebut dialami oleh orang lain? Mungkin tidak, dan mungkin hanya aku yang mengalaminya. Mungkin hanya hidupku saja yang berbeda dari kebanyakan orang. Meski begitu aku tetap bahagia lahir di keluarga tepung, telur dan air. 

Sampai suatu ketika, saat lebaran Idul Fitri, dimana setiap ibu rumah tangga pasti akan sibuk membuat kue lebaran, aku melihat ibu membuat adonan yang sama yang ia ceritakan ketika tengah membuat aku. Aku bingung pada saat itu, dan terus bertanya, apakah ibu akan membuat adik untuk ku? Aku akan senang akan hal tersebut. Namun ketika adonan telah selesai dan siap di oven, aku tak melihat adonan tersebut berwujud seperti manusia. “Mungkin ketika telah matang dan dikeluarkan dari oven ia akan langsung menangis,” ujarku dalam hati. Dan ya, betapa bodohnya aku percaya, atau lebih tepatnya dipaksa untuk percaya mengenai hal tersebut oleh ibu.

Mungkin saat itu pendidikan tentang sex terhadap usia dini memang belum tabu dan pantas untuk diberikan orang tua. Namun, memaksa anak untuk percaya terhadap hal yang tidak logis, menurutku lebih tidak pantas untuk dilakukan. Seperti kisah tentang keluarga miskin yang kelaparan yang menceritakan seorang ibu tengah memasak demi anak-anaknya yang kelaparan, namun tak memiliki bahan masakan apapun. Kau tau apa yang dilakukannya? Ya, sang ibu memaksa anaknya percaya jika ia sedang memasak nasi, padahal ia sedang merebus batu agar anaknya mengantuk, melupakan rasa lapar, dan akhirnya tertidur.

Sedari kecil kita dipaksa untuk memercayai hal bodoh yang tidak logis, yang sama sekali tidak bisa diterima oleh akal pikiran manusia normal pada umumnya. Dan menurutku hal tersebut yang membuat negeri tercintaku ini, Indonesia, terpuruk. Sehingga membuat kita mudah dibohongi oleh orang lain, dan negara lain. Tidak ada niat dan maksud diriku untuk menghina negeri sendiri atau orang-orang di dalamnya, atau bahkan ibuku sendiri melalui tulisan. Hanya saja, aku sedikit miris terhadap tindakan orang tua pada zaman ku kecil dahulu. Jika ada yang merasa demikian aku memohon maaf sebesar-besarnya.

1 komentar: